Kumpulan Berita dan Info unik yang ada di sekitar kita

Olahraga berdarah-darah demi panen melimpah, dan kesuburan tanah


Setiap budaya memang unik, namun tidak semua produk budaya baik. Begitulah ungkapan yang tepat kalau anda bisa meneliti secara cermat mengenai hasil olah pemikiran manusia yang berikut. Seperti yang kita tahu, beberapa budaya ada yang sirna, karena sudah dianggap tidak sesuai zaman nya, atau akibat adanya perkembangan menuju budaya maju untuk menjadi unggul. Tetapi di beberapa tempat di belahan dunia pun masih menyimpan budaya yang lama nya, yang biasanya mungking karena sudah terjebak oleh ritus yang telah mengakar. Salah satu ada di Indonesia, dan festival itu bernama “Pasola”

Pasola merupakan suatu ritual upacara keagamaan yang berasal dari NTT (Nusa Tenggara Timur). Dalam halaman resmi wisata NTT  mengatakan bahwa tradisi Pasola di daerah-daerah itu berbeda tiap tahun nya, namun berdasarkan kebiasaan kurun waktu nya antara bulan februari - maret setiap tahun. Penanggalan pelaksanaan nya ditentukan oleh rato (tokoh adat yang berwenang). Perayaan puncak acara tahunan ini biasanya di mulai 6 -8  hari setelah bulan purnama. Saat itu pantai bagian selatan menjadi tempat munculnya milyaran cacing nyale yang kecil-kecil.


Kata Pasola menurut beberapa sumber berasal dari kata Pa (Imbuhan) & Sola (Pemuda) atau Hola (tombak kayu). Oleh karena itulah ritual agama yang dulunya milik penganut Merapu ini, sekarang di dominasi para pemuda. Peraturan dari Pasola sangat sederhana, Biasanya para petarung Pasola menggunakan lebih dari dua tombak kayu untuk menyerang kubu dari suku lain. Tombak-tombak kayu tersebut selain sebagai senjata yang dilemparkan kepada lawan juga dipakai penangkis. Setiap petarung Pasola yang sudah terkena oleh lemparan tombak kayu dianggap kalah, atau diganti dengan petarung lainnya. Masing-masing kelompok Pasola yang bertarung memiliki seorang pemimpin yang bertugas memberikan semangat dan pengatur serangan.


Dalam permainan ini, para peserta telah menyiapkan tongkat kayu khusus yang ujungnya tumpul. Dan biasanya tongkat yang mereka bawa tidak lebih dari sepanjang 1,5 m dengan diamater 1,5 cm. Meskipun tongkat tersebut dibiarkan tumpul, tak jarang permainan ini melukai para pesertanya, bahkan bisa memakan korban jiwa. Darah yang mengucur di arena Pasola dianggap bermanfaat bagi kesuburan tanah dan kesuksesan panen. Sementara apabila terdapat korban jiwa, maka korban tersebut dianggap mendapat hukuman dari para dewa karena telah melakukan suatu pelanggaran. Sedang pihak keluarga korban menderita, yang uniknya para warga kampung akan berpesat, sebab mereka percaya bahwa pada tahun tersebut hasil pertanian mereka akan menjadi subur, dan melimpah. Tidak boleh ada dendam, pada pertandingan ritual ini, bahkan keluarga korban yang cacat atau meninggal pun tidak bisa menuntut kepada pihak Polisi. Saya berkata : “Oh, Come on.. !!”

Bagi para peserta yang terkena tombak hanya dapat membalasnya di arena ini. Akan tetapi jika pertandingan telah usai, sementara peserta masih penasaran untuk membalas terjangan tongkat lawan, maka ia harus bersabar untuk menunggu Pasola pada tahun berikutnya. Sebab, dalam Pasola tidak dibenarkan untuk mendendam, apalagi melakukan pembalasan di luar arena Pasola. Melihat pernyataan fakta diatas, akhirnya kupu-kupu dalam perut saya menggelitik untuk berkata : “Oh, ayolah.. Masaka sih ?!! Darah bisa meyuburkan tanah ? Bahkan kalau ada yang meninggal tertancap tombak, dibilang beberapa sumber para warga kampung akan bersyukur” #Sedihnya

   

 

Dikuti dari http://sriwijaya-magazine.com/id/blog/berkelana-ke-negeri-kesatria/ : “Tanah Sumba butuh darah tiap tahunnya, Kawan!” begitu celetuk seorang lelaki tirus melototkan mata kepada saya. Di tahun 1992 dan 1997, pasola memakan korban. Dua orang meninggal. “Kalau tidak ada yang meninggal tidak apa-apa. Tapi, sebagusnya ada yang meninggal,” tambah Damianus. Kuda-kuda tanpa pelana melakukan manuver lagi saat kesatrianya melempar lembing. Satu lemparan dari kubu selatan ditangkis begitu saja dengan kibasan lembing oleh kubu utara. Lembing itu melesat ke area penonton. Sang penangkis menepuk dada. 

Di tengah pertempuran, beberapa pria menunjukkan luka di tubuhnya. “Ini karena saya kurang awas melihat lembing,” kata seorang lelaki paruh baya menunjuk matanya. Ada juga lelaki muda lain yang sebelah matanya sudah tiada. Seorang lain memperlihatkan punggung yang seperti bekas sabetan benda tumbul yang keras, luka itu telah membentuk jaringan kulit baru yang menonjol. Mereka menceritakan dengan bangga seperti seorang veteran Amerika yang menceritakan bekas luka yang ia dapat dari Vietnam. Tidak tertutup kemungkinan, dalam pahola atau pasola ada yang tewas. Jika ada yang tewas dalam pasola, penjara tidak akan menjadi solusi buat si pelempar. “Tidak ada jeratan hukum bagi kesatria,” kata rato lain dengan nada cukup tegas.

 


Lebih parahnya lagi, menurut beberapa sumber dari halaman situs Vice pada link berikut yang berjudul Blood Scrafice in Indonesia part 1/2, dan part 2/2 seorang nara sumber berkata bahwa zaman dahulu sebelum para penjajah datang ke Nusantara, kata beliau tradisi Pasola tidak hanya memakai tombak kayu, melainkan memakai lembing (tombak kayu kecil panjang yang ujungnya berlapis logam runcing).

Kegiatan tersebut katanya ; dilarang oleh pemerintah Belanda (Waktu itu yang menjajah bukan Pemerintah Belanda yang resmi, tetapi masih kelompok dagang yang bernama VOC). Itu lah sebabnya, sekarang tradisi yang berbau hiburan layakanya olahraga itu telah menjadi berubah menjadi kegiatan Pasola yang seperti yang tidak mengerikan, namun tetap saja mematikan. Karena meski sekarang hanya memakai tombak kayu tumpul, saksi lainya di video tersebut pernah melihat bahwa ada korban yang benar-benar mati terhunus tombak tumpul yang meluncur pada kecepatan yang tinggi. I say : "What !! Please guys... Stop it !!" Masih ada yang lebih baik yang bisa kita lakukan, bila kita mau mengedepankan logika, dan etika untuk kemajuan ekonomi dalam segala bidang.

“Arrgggghhhh !!!” Andai Amerika Serikat, Rusia, dan negara maju lain nya masih percaya budaya yang kuno (bertentangan dengan Ilmu pengetahuan) dari nenek moyang mereka, maka pasti mereka tidak akan bisa menciptakan teknologi pertanian yang dapat memberi kelimpahan kepada rakyat di negaranya. Tetapi : “Yasudahlah… ya… Setiap orang mempunyai budaya nya sendiri. Hidup adalah pilihan, ya... kan ?”


Share on Google Plus

About Solidious

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar